Sepenggal cerita ini mungkin tak berarti, namun bagi saya yang menjalani adalah menjadi pengalaman hidup yang berarti , saat ini bahkan suatu saat nanti.
MENJADI GURU MILENIAL DI DESA TERTINGGAL
Menjalani profesi guru memang harus siap menerima resiko dan konsekuensi tanggungjawab serta dedikasi. Begitu juga saya yang saat ini bertugas menjadi guru di Desa Tertinggal.
SD Negeri Pabuaran, adalah tempat saya mengajar. Terletak di Desa Pabuaran Kecamatan Bantarbolang Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Desa Pabuaran termasuk daerah tertinggal, kategori daerah khusus 3t (tertinggal, terluar,terdepan) karena Letaknya lumayan jauh dari perkotaan. Untuk menuju ke Desa Pabuaran perlu menempuh jarak berkilo-kilo meter dengan medan jalan yang rusak, sepanjang jalan menuju Desa Pabuaran dikanan kiri adalah hutan dan menyebrang sungai melewati jembatan gantung sungai Comal Pemalang Jawa Tengah. Boleh dibilang Desa Pabuaran adalah Desa kecil di tengah hutan.
Jembatan gantung Desa Pabuaran Kec.Bantarbolang Kab.Pemalang
SD Negeri Pabuaran, satu-satunya sekolah di Kecamatan Bantarbolang yang satu lokasi gedung dengan SMP Negeri Pabuaran Satu Atap dan juga Sekolah PAUD. Kondisi Geografis Desa yang berada di tengah hutan membuat siswa sekolah tidak bisa keluar Desa Pabuaran melainkan menjadi Sekolah Satu Atap.
Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa pabuaran masih sangat rendah. Mayoritas masyarakat bekerja bercocok tanam,bertani,berkebun, dan mengembala ternak. Kepedulian masyarakat dalam pendidikan juga masih kurang terbukti kurangnya kesungguhan warga masyarakatnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Anggapan bahwa sekolah itu tidak begitu penting masih mengakar dan membudaya. Tiap tahun ada saja anak yang putus sekolah dan memilih untuk bekerja. Orang tua masih beranggapan daripada menyekolahkan anak-anak mereka hanya akan menghabiskan biaya,mending anak-anak disuruh bekerja mengembala hewan ternak kambing atau kerbau yang bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan.
Pendidikan di Desa Pabuaran masih jauh dari harapan. Tujuan utama pendidikan di Desa Pabuaran bukan ke arah prestasi akan tetapi utamanya bertujuan untuk menumbuhkan minat untuk belajar dan sekolah. Yang penting anak mau sekolah dan belajar itu sudah bagus. Tidak dipungkiri sekolah pinggiran minim prestasi. Dari 47 Sekolah Dasar di Kecamatan Bantarbolang , seringkali SD Negeri Pabuaran dikenal dengan Sekolah yang serba ketinggalan. Hal itulah yang memantik saya untuk berusaha mengejar ketertinggalan itu.
Senada dengan tujuan utama pendidikan di Pabuaran saya coba terus menggali minat bakat dan potensi siswa. Terutama siswa kelas VI yang saya ajar yaitu siswa kelas VI. Lulusan kelas VI adalah Out Put yang bisa menjadi tanda kualitas mutu sekolah. Kalau Out put nya baik tentu kualitas atau mutu sekolah juga baik. Hal itu yang menjadi keniatan saya untuk menjadikan siswa mempunyai prestasi dan mengejar ketertinggalan. Keniatan itu saya imbangi dengan metode belajar yang saya terapkan menjelang Ujian Sekolah Siswa Kelas VI. Dengan metode belajar yang tepat akhirnya prestasi meningkat, hasilnya Tahun 2018 Nilai Ujian Sekolah SD Negeri Pabuaran mendapat peringkat 1 di Kecamatan Bantarbolang. Prestasi yang menurut saya cukup membanggakan karena selama ini SD Negeri Pabuaran belum pernah meraih prestasi apapun.
Begitu juga dengan guru , saya pun mencoba membuktikan kualitas diri dengan terus menggali potensi ,mengembangkan diri, mencari ilmu baru dengan belajar belajar dan belajar. Hasilnya beberapa kali saya mewakili SD Negeri Pabuaran mengikuti Lomba Guru Berprestasi dan mendapatkan Juara di Tahun 2017, 2019 dan Tahun 2020
Pembelajaran Digital di Desa Tertinggal
Saat wabah virus Corona melanda dunia, saat sedang digencarkannya pola pembelajaran digital di Indonesia, saat digaungkanya program Pembelajaran jarak jauh (PJJ) lewat online atau Dalam Jaringan (daring ) , agaknya menjadi senyum psimis dalam hati untuk menjalani. Bagaimana tidak ? Sekolah minim sinyal jelas tak bisa menjalankan pembelajaran secara daring. Saya berfikir kalaupun ada sinyal bagaimana dengan sarana HP andorid untuk pembelajaran. Jangankan HP android, telpon selulerpun orang tua tidak banyak yang punya. Semua itu menjadi sebuah kendala sekaligus tantangan intinya sarana dan prasarananya tidak ada
Dalam kondisi demikian saya mencoba untuk mencari solusi agar pembelajaran bisa terus berjalan. Kesuksesan pembelajaran daring selama masa pandemi Covid-19 di Daerah tertinggal tergantung jaringan internet , kalau ada internet pembelajaran daring ada harapan untuk dilakukan. Hal kecil yang bisa saya lalukan adalah mencoba membuat penangkap signal dengan memasang tiang antena penangkap sinyal yang dipasang di sekitar lokasi sekolah , dengan cara kabel antena tersebut dililitkan ke HP Android atau modem wifi supaya bisa menangkap sinyal karena tanpa penguat sinyal sama sekali tidak ada jaringan.
Usaha membuahkan hasil, dengan bantuan alat sederhana kabel antena yang dililitkan ke HP Android lambat laun signal mulai ada walaupun tidak begitu kuat. PR selanjutnya adalah sarana pembelajaran untuk siswa yaitu HP Android. Karena butuh dukungan orang tua untuk bisa membelikan anak –anaknya HP Android. Hal ini tidaklah mudah dilakukan karena membutuhkan kesungguhan yang diimbangi dengan biaya.
Hal yang saya lakukan adalah mengenalkan teknologi digital kepada orang tua dan juga anak didik saya. Mengenalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Mengenalkan aplikasi edukasi supaya orang tua dan anak didik tertarik. Lambat laun orang tua pun mendukung. Awalnya agak dipaksakan namun lama kelamaan menjadi keinginan. Jika keinginan sudah ada maka diwujudkan dengan dukungan. Orang tua mulai peduli dengan pendidikan anak-anaknya dan mulai banyak orang tua yang membelikan HP Android untuk anak-anaknya walaupun harus ke pusat kota untuk membelinya
Awalnya sedikit namun tak menyurutkan niat, agar lebih tertarik saya coba buat ekosistem belajar daring untuk mengenalkan pembelajaran daring mulai dari kelompok kecil parenting lama kelamaan mulai meluas. Saya beri pengenalan digital baik dengan laptop maupun android . Kemudian saya buat group WhatsApp karena Aplikasi WA yang sederhana bisa diakses dan efektif sedangkan aplikasi yang lain seperti Zoom, Google meet, Lark meeting, Talk fusion dan sebagainya belum bisa diakses karena terkendala jaringan signal yang tidak bagus di daerah tertinggal.
Pembelajaran daring pun berjalan sederhana melalui WA, dalam situasi ini anak-anak jelas sangat senang bisa memanfaatkan teknologi yang baru mereka kuasai. Setidaknya selangkah bergerak dari kata tertinggal dengan melek digital.
Peran Guru Milenial di Desa tertinggal tak lepas dari sekedar mengajar, namun juga mendidik dan mengenalkan ilmu teknologi, informasi dan komunikasi sebagai sarana pentransfer ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan kemajuan jaman. Dengan demikian Desa tertinggal tidak semakin tertinggal. Walau jauh dari kata kemajuan setidaknya sedikit mengenal dunia digital
“Ketertinggalan bukanlah halangan untuk tidak melakukan,sekalipun di daerah tertinggal , walaupun jauh dari harapan tetapi bisa ikut serta membangun Indonesia melalui dunia pendidikan di era milenial
Salam guru hebat. Salam Literasi
Artikel ini diikutkan Lomba Blog PGRI (tanggal 1 s.d 28 Pebruari 2021)
Nama Penulis :
ETIK NURINTO, S.Pd.SD
NPA PGRI : 12120600251
No. WA : 083134609000
Guru SDN Pabuaran
Kecamatan Bantarbolang
Kabupaten Pemalang
salam perubahan pak💪🏼 saya lulusan SDN PABUARAN 2008.
BalasHapusdulu sebelum ada smp satu atap,
pendidikan di desa itu sangat rendah
Aku inget dulu
setiap kelulusan
Dari 43 siswa
Terkadang hanya 5/6 siswa yg ke smp.
alhamdulilah dari segi pendidikan sekarang
Sudah mulai ada peningkatan
Setelah adanya smp satu atap.
apalagi misal dari pihak desa
Mampu memanfaatkan sungai
dan mempunyai daya tarik tersendiri
Seperti warkop apung atau apalah,
Sayaa rasa bisa sedikit bisa merubah deaa tertinggal menjadi berkembang.
Dan desa pabuaran bisa di kenal oleh masyarakat luar.